Antara Teologi dengan Filsafat Ketuhanan
Teologi dan Filsafat Ketuhanan sering kali
dipahami sebagai dua jenis disiplin kajian yang sama. Padahal keduanya
berbeda, meskipun objek kajiannya sama, yaitu tentang Tuhan.
Secara gamblang, Teologi memang dipahami sebagai
Ilmu yang mempelajari tentang hal ihwal Ketuhanan. Dan Filsafat
Ketuhanan juga demikian. Akan tetapi perbedaan diantara keduanya
terletak pada titik pijaknya, pada titik berangkat yang digunakan
sebagai landasan kajiannya. Dan karena titik pijaknya berbeda, maka
hasilnya juga bisa berbeda. Karena itulah antara Teologi dengan Filsafat
Ketuhanan tidak selalu sejalan.
Teologi mendasarkan kajiannya pada wahyu, firman Tuhan, Yesus dan
seterusnya. Singkatnya berdasarkan pada dogma suatu agama dan
kepercayaan Ketuhanan. Misalnya kajian tentang apakah Tuhan itu satu
atau banyak. Maka Teologi akan langsung merujuk pada sumber primer suatu
agama, yaitu pada kitab suci. Misalnya pada Teologi Islam. Maka kajian
ini akan memulai eksplorasinya dari ayat-ayat Alquran yang berkenaan
dengan Keesaan Tuhan. Misalnya pada surat Al Ihklas: “Katakanlah bahwa
Tuhan itu Satu (Ahad)”.
Maka seajuh apapun kajian Teologi Islam, maka nyaris tidak akan keluar
dari dasar bahwa Tuhan itu satu. Seluruh uraian, penafsiran, dan
eksplorasi kajian, tetap merujuk pada porosnya bahwa Tuhan itu satu.
Lalu jika dekimian, apa gunanya kajian Teologis?
Tujuannya adalah untuk lebih meyakinkan penganutnya bahwa bahwa ”Tuhan
itu Satu” bisa diyakini secara rasional dan lebih meyakinkan, dengan
cara menggali penalaran logis sedalam-dalamnya sejauh yang bisa dicapai
oleh alur penalaran. Sehingga pernyataan dalam ayat diatas, tidak hanya
sekedar dihafal dan diterima begitu saja. Tetapi sudah dihayati sebagai
pernyataan yang memliki dasar rasional yang kokoh.
Akan tetapi pada Filsafat Ketuhanan, titik pijaknya bukanlah pada wahyu
atau firman Tuhan. Melainkan murni pada alur penalaran logis. Untuk
mengakui bahwa Tuhan itu ada misalnya, Filsafat Ketuhanan menemukan
kesimpulan itu murni melalui hasil eksplorasi pikiran. Tentunya dari
segi metode dengan menggunakan perangkat atau mekanisme berpikir
(epistemologi) tertentu. Tapi secara materi kajian Filsafat Ketuhanan
mesti berangkat dari titik nol. Tanpa postulat. Tanpa dogma apa-apa.
Misalnya akan dikaji, apakah Tuhan itu satu. Maka Filsafat Ketuhanan
akan memulainya dengan menggempur topik itu dari berbagai perspektif
(tidak merujuk pada ayat apapun). Misalnya diajukan dulu pertanyaan: Apa
konsekuensi logisnya jika Tuhan itu dipahami Satu. Dan sebaliknya apa
pula konsekuensinya jika Tuhan itu dipahami banyak (politheisme). Atau
mungkin Tuhan dicoba dipahami sebagai serba menyatu dengan segala yang
ada (Pantheisme). Dan seterusnya.
Dari hasil eksplorasi tersebut maka akan ditemukan mana alur penalaran
yang paling menyakinkan. Mana yang paling mungkin diterima oleh akal.
Tidak ada juri yang bisa mengadili berbagai kemungkinan dari eksplorasi
kajiannya, selain murni alur penalaran yang kuat yang akan diterima.
Karena itu, Filsafat Ketuhanan mirip dengan seekor binatang pengembara.
Mulai dari tiada dan berakhir entah dimana.
Lalu mana yang terbaik diantara keduanya?
Oleh Teologi dijawab bahwa Teologi lebih aman. Kemungkinan untuk kesasar
jauh ke rimba belantara penafsrian bisa dikontrol. Karena seorang
Teolog (setidaknya peminat Teologi) akan dituntun penalarannya oleh
postulat dasar yang ada pada Kitab suci. Tapi oleh kaum Pemikir
Ketuhanan, kajian Teologi belum melakukan apa-apa. Mereka ibarat
berputar-putar dalam suatu ruang tertutup. Memulai perjalanan dari satu
titik tapi dalam rangka untuk kembali lagi ke titik yang sama. Mereka,
bagi kaum Pemikir Ketuhanan dinilai hanya melakukan pembenaran akan
dogma Kitab Suci yang dipeluknya
-
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !